Monday 2 June 2014

Contoh Artikel Pariwisata dan Teknologi



HES E-TOOLKIT
 SOLUSI HOTEL BERWAWASAN LINGKUNGAN

Rizqi Prasetiawan
Mahasiswa S1 Pariwisata UGM


ABSTRAK

            Penelitian dan inovasi pengembangan operasional hotel berwawasan lingkungan akan sangat bermanfaat terutama untuk mengurangi dampak global warming, yaitu dengan cara menghemat konsumsi energi. Maka diharapkan pengembangan hotel semacam ini akan terus menjadi perhatian utama para pelaku bisnis perhotelan dan inovator terknologi. Artikel ilmiah ini bersifat deskriptif analitis membahas teknologi perangkat lunak HES E-Toolkit. Software ini berfungsi untuk membantu pelaku bisnis perhotelan dalam mengevaluasi konsumsi energi hotel mereka, membantu meningkatan manajemen energi yang baik dan hemat. Sekalipun berupa prototipe dan belum disesuaikan untuk bisa diaplikasikan ke semua hotel di dunia, teknologi rancangan UNWTO ini telah menjadi angin positif dan harapan untuk  pengembangan model perhotelan yang lebih baik kedepannya.


PENDAHULUAN

Dalam laporan akhir Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) 2013 disebutkan bahwa target wisatawan mancanegara Indonesia telah mencapai angka 8,8 juta dengan pertumbuhan sebesar 8,39% per tahun, atau lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan pariwisata dunia sebesar 5% per tahun. Kondisi ini mengindikasikan kuatnya pertumbuhan pariwisata Indonesia. Disebutkan pula bahwa pertumbuhan PDB sektor pariwisata (hotel, restaurant, dan hiburan) cenderung lebih tinggi daripada pertumbuhan nasional yaitu 6,5% dibanding 5,7% tahun 2013. Pencapaian ini tidak dapat dilepaskan dari perkembangan inovasi dan teknologi yang semakin dinamis. Perkembangan teknologi dalam bidang informasi dan transportasi secara tidak langsung telah mendorong pertumbuhan sektor pariwisata dunia, mobilitas wisatawan dan keterbukaan informasi menjadi kunci tren pariwisata masa kini.
Pengetahuan manusia yang semakin berkembang telah mengakselerasi perkembangan teknologi yang makin kompleks dan spesifik. Manusia dengan mudah telah menemukan model teknologi baru dalam banyak hal dan makin menyentuh bagian terdalam sektor-sektor usaha, salah satunya sektor pariwisata. Inovasi teknologi kini tidak hanya berkisar pada alat transportasi dan informasi semata. Dewasa ini muncul teknologi yang didaulat akan merevolusi operasional hotel yang lebih ramah lingkungan. Sebelumnya keberadaan hotel telah menjadi isu strategis yang menyita banyak perhatian para pengamat lingkungan dan kaum akademisi. Hal ini sebabkan oleh kecenderungan hotel yang boros energi dan menyumbangkan emisi gas karbon dioksida secara berlebihan. Selain itu, pembangunan hotel yang mengambil alih fungsi lahan menjadi alasan lain para pengamat lingkungan menggugat peranan hotel.

HUBUNGAN PARIWISATA DAN TEKNOLOGI

Hubungan pariwisata dan teknologi bak alat elektronik dan listrik yang keduanya saling berkaitan. Teknologi adalah produk kreatif dan inovatif manusia, sedangkan pariwisata merupakan sektor yang paling membutuhkan teknologi sebagai salah satu instrumen pendukungnya. Faktanya, potret pariwisata kini bergeser ke arah yang lebih modern dan negatif dalam beberapa hal.
Pariwisata menyadari bahwa inovasi dan perubahan teknologi telah menawarkan metode inovatif dan strategis, seperti internet yang kini menjadi kebutuhan primer dalam industri kepariwisataan. Berkat internet sektor pariwisata kini berkembang dan bergantung melebihi sektor-sektor yang lain. Pariwisata menggunakan internet untuk mempermudah penyebaran informasi dan operasional usaha kepariwisataan mulai dari promosi hingga pengawasan. Namun, di sisi lain penggunaan teknologi dalam aktivitas pariwisata menyisakan dampak negatif yang akhirnya menjadi urgen untuk diperhatikan. Lihatlah betapa kini pengembangan aktivitas pariwisata kerap “melupakan” asas kesimbangan antara pembangunan dan kelestarian lingkungan yang berkelanjutan.
Dalam laporannya UNWTO (Union Nation World Tourism Organization) yaitu lembaga internasional di bawah PPB, mengakui bahwa sektor pariwisata bertanggung jawab atas 5 persen dari total karbon dioksida (CO2) di bumi yang berasal dari operasional hotel dan akomodasi wisata lainnya. Emisi gas 5 persen tersebut jika tetap di biarkan akan menjadi bom waktu bagi sektor pariwisata dan planet bumi secara umum. Menurut penelitian yang dilakukan UNWTO sebuah hotel tiap tahunnya menyumbang antara 160 – 200 kg karbon dioksida per luas lantai kamar dengan rincian sekitar 40 persen dari energi listrik, dan 60 persen berasal dari bahan bakar gas alam dan minyak. Total energi tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekunder dalam hotel seperti pemanas ruangan, produksi air panas, AC dan ventilasi, dan pencahayaan yang notabe merupakan produk teknologi. Emisi gas CO2 yang dikeluarkan hotel akan bertambah kali lipat sebanding dengan jumlah hotel yang didirikan, dan faktanya pertumbuhan hotel tiap tahunnya meningkat tajam. Di Indonesia sendiri pertumbuhan hotel di tahun 2014 diperkirakan tumbuh sekitar 35,7 persen dengan 5.204 kamar. Karena pembangunan hotel pasti mengalih fungsikan lahan maka total emisi gas CO2 akan bertambah kali lipat tiap tahunnya. Namun, pada akhirnya kita tidak punya pilihan lain selain memahami dan mengelola perubahan, dan menerapkan inovasi teknologi yang lahir sebagai akibat dari perubahan budaya. Kita harus berkomitmen untuk memastikan bahwa perubahan dan inovasi teknologi akan membangun kepariwisataan yang lebih baik, yaitu pariwisata yang lebih mudah diakses wisatawan, lebih inklusif, lebih kreatif, lebih terstruktur, namun tetap berwawasan lingkungan.

HOTEL BERWAWASAN LINGKUNGAN

Dari kesadaran itulah mengapa solusi pariwisata modern sekaligus berwawasan lingkungan -khususnya pengembangan hotel- menjadi sangat penting untuk diprioritaskan. Dewasa ini, UNWTO dan mitranya telah meluncurkan teknologi aplikasi bernama Hotel Energy Solutions (HES) E-Toolkit. Aplikasi e-toolkit ini dibuat untuk membantu pelaku bisnis perhotelan dalam mengevaluasi konsumsi energi hotel mereka, membantu meningkatan manajemen energi yang baik dan hemat dalam segi biaya. Adapun output utama dari e-toolkit adalah memberikan laporan kepada para pelaku bisnis perhotelan dengan menunjukkan penggunaan energi mereka saat itu lalu merekomendasikan solusi alternatif yang logis dan lebih efisiensi disertai arahan tindakan yang tepat ke depannya.
Untuk menggunakan aplikasi perangkat lunak ini pelaku bisnis perhotelan hanya perlu melakukan registrasi di www.hotelenergysolutions.net. Selanjutnya pengguna aplikasi akan diberikan pertanyaan dalam bentuk kuisioner yang terbagi atas enam bagian, yaitu 1) data hotel secara umum, 2) tipe hotel, occupancy dan karyawan, 3) deskripsi hotel, meliputi lokasi, luas, dan bahan konstruksinya, 4) konsumsi energi dan biaya rutin, 5) penggunaan energi terbarukan, dan 6) profil energi yang digunakan. Setelah selesai mengisi kuisoner selanjutnya e-toolkit akan secara otomatis memproses data dan memberikan hasil laporan dalam tiga bentuk. Pertama, mereka akan mendapatkan laporan mengenai konsumsi energi operasional hotel mereka dan membandingkannya dengan konsumsi perusahaan hotel yang serupa. Dari laporan ini pelaku bisnis perhotelan dapat melakukan analisis perbaikan dengan membandingkan konsumsi energi dengan perusahaan lain. Selain itu, pada laporan ini e-toolkit akan memberikan penilaiaan tentang potensi pengurangan konsumsi energi dan biaya yang mungkin dicapai. Laporan kedua berisi saran dan arahan yang akan meningkatkan efisiensi. Solusi ini ditampilkan dalam bentuk peringkat/urutan praktis yang bertahap dan dimulai dari hal yang paling diprioritaskan. Saran dan arahan tersebut berasal dari studi kasus dan data statistik yang menjadi acuan dan telah terbukti berhasil dalam kompetisi bisnis perhotelan. Ketiga, pengguna aplikasi akan mendapatkan laporan footprint carbon yang berguna untuk memberikan estimasi volume CO2 yang dihasilkan dan pengaruhnya bagi lingkungan sesuai dengan konsumsi energi, karakteristik fasilitas, dan lokasi hotel itu berada. Hasil laporan ketiga ini kemudian akan memberikan bantuan kepada pelaku bisnis dalam mengevaluasi emisi karbon dan teknik mitigasi melalui efisiensi energi dan investasi pada metode alternatif yang ramah lingkungan.
Laporan dari e-toolkit tersebut menawarkan solusi terbaik untuk meningkatkan dan mengoptimalkan penggunaan energi, menghitung investasi awal yang diperlukan untuk mengurangi biaya operasional rutin. Penurunan konsumsi energi dan biaya akan secara langsung memberikan kontribusi positif untuk lingkungan dan tentu akan meningkatkan keuntungan bagi pelaku bisnis perhotelan. Sayangnya aplikasi pintar ini  masih bersifat prototipe dan belum dapat diaplikasikan pada hotel-hotel selain di Eropa.

MANFAAT E-TOOLKIT

Aplikasi e-toolkit memberikan berbagi macam kemudahan bagi para pelaku bisnis pariwisata khususnya perhotelan, antara lain mereka akan memahami berapa banyak energi yang bisa di hemat dalam manajemen operasional hotelnya. Kemudian berdasarkan jawaban dalam kuesioner yang telah diisi akan dihasilkan solusi penghematan energi paling logis sesuai deskripsi hotel. Selain itu, solusi yang diberikan akan disertai gambaran biaya (investasi awal), dan informasi lanjutan yang berguna seperti kredit modal dan rekomendasi teknologi. Dengan memilih teknologi yang hemat dan efisien secara langsung akan mengurangi biaya energi dan dengan demikian meningkatkan profit perusahaan. Selain itu, pengguna aplikasi dapat membandingkan hasilnya dengan hotel lain yang sejenis dan mengukur pertumbuhan hotel. Pelaku bisnis perhotelan juga dapat menganalisis dan meninjau perkembangan melalui data-data tahunan.
            Pada intinya HES e-toolkit berguna membantu para pelaku bisnis perhotelan untuk memahami manajemen energi yang lebih baik, mengembangkan strategi untuk mengurangi energi yang mereka konsumsi, mengurangi tagihan biaya, dan dampak lingkungan khususnya. Hal ini akan membantu mereka untuk menilai, memberikan respon, mengembangkan strategi dan memantau upaya dalam menjaga kelestarian lingkungan.
Selain bermanfaat bagi pelaku bisnis perhotelan, adanya e-toolkit juga membawa manfaat bagi lingkungan dan wisatawan. Bagi lingkungan aplikasi e-toolkit memiliki efek multiplier ekonomi sekaligus mengurangi dampak lingkungan yang negatif yaitu mampu memberikan manfaat dalam segi efisiensi energi alam, seperti listrik dan bahan bakar fosil. Bagi wisatawan, hadirnya e-toolkit menjadi pengalaman baru yang unik sekaligus mampu menjadi contoh edukasi bahwa pengembangan ekonomi khususnya perhotelan dapat berjalan seirama dengan usaha pelestarian lingkungan.

KESIMPULAN

Secara singkat e-toolkit merupakan produk teknologi dengan platform aplikasi online yang berfungsi layaknya konsultan ekonomi hijau, yang akan membimbing pelaku bisnis perhotelan untuk lebih memahami konsumsi energi dan bertanggung jawab terhadap keseimbangan lingkungan. Selain itu, aplikasi e-toolkit memberikan solusi strategis tentang bagaimana memperbaiki manajemen energi dan biaya yang telah ada ke arah ekonomi hijau.
Proyek UNWTO ini diharapkan menjadi titik balik pengembangan manajemen hotel yang ramah lingkungan, mengingat program e-toolkit masih belum bisa diaplikasikan di hotel selain di Eropa. Besar harapan setelah software ini disesuaikan, aplikasi ini akan berfungsi dan dapat dimanfaatkan hotel di seluruh dunia termasuk Indonesia sehingga memberikan kontribusi untuk mitigasi perubahan iklim sambil membantu hotel meningkatkan keuntungan bisnis. Aplikasi  e-toolkit juga diharapkan mampu menjadi bukti bahwa pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan mampu berjalan seirama.

Daftar Rujukan

            Endrotomo. 2014. Ilmu dan Teknologi. Information System ITS.

            Febrina, Meutiara. 2014. “2014, Pertumbuhan Hotel di Indonesia Diprediksi 35,7%”. Okezone, 17 April 2014.

Latief. 2013. “Membangun eco-hotel memang mahal, tapi hemat lebih banyak”. Kompas, 17 April 2013.

Kartajaya, Nirwandar. 2014. Tourism Marketing 3.0 : Pariwisata dan Teknologi. Jakarta. PT Gramedia Pustaka.

Noviyanti Sri. 2014. “Solusi agar Destinasi Tahan terhadap Perubahan Iklim”. Kompas, 6 Mei 2014.

Swarbrokke, J. 1998. Suistainable Tourism Management. New York. CABI Publishing in division os CAB International.

UNWTO. 2011. Hotel Energy Solutions (Final Report) dari http://hes.e-benchmarking.org/HES_root_asp/index.asp?LangID=1/ diunduh pada 11 Mei 2014.

UNWTO. 2011. Technology in Tourism. Diunduh di http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=5&ved=0CEgQFjAE&url=http%3A%2F%2Fdtxtq4w60xqpw.cloudfront.net%2Fsites%2Fall%2Ffiles%2Fpdf%2Funwtodigitalresources_volume1_techtourism_eng_0.pdf&ei=YjtyU-jVII7fkgW3h4DAAg&usg=AFQjCNEJYgq22UKaW80iwLP9mHmhglw5AA&sig2=uQsvT4oP0HZRZ4mwFPhW5g&bvm=bv.66699033,d.dGI pada 11 Mei 2014.

           

Sunday 23 March 2014

Ruang Terbuka Hijau 30% Solusi Kota Berwawasan Lingkungan



Judul               : RTH 30% Resolusi (Kota) Hijau
Penulis             : Nirwono Joga dan Iwan Semaun
Penerbit           : PT Gramedia Pustaka
Tebal               : 272 halaman
Waktu terbit    : 2011

Degradasi kualitas lingkungan membuat kota harus mencari (lagi) keseimbangan ekosistem kota yang berkelanjutan. RTH, resolusi kota hijau.

RTH 30% Revolusi Kota Hijau

Seekor katak secara naluri pasti akan langsung melompat keluar menyelamatkan diri ketika dimasukan ke dalam kuali berisi air mendidih. Namun akan berbeda cerita ketika dari awal katak itu dimasukan ke dalam kuali berisi air dingin yang akan direbus. Si katak akan tetap berada dalam kuali karena air dingin membuatnya merasa nyaman. Ketika air dipanaskan secara perlahan katak akan tetap diam, ini terjadi karena tubuh katak mampu beradaptasi menikmati hangatnya perubahan suhu. Akibatnya katak tak pernah menyadari adanya ancaman karena terbiaskan oleh kenikmatan sesaat. 

Kisah balada katak rebus yang dituturkan Peter Senge (The Fifth Disipline: 1990) sesungguhnya telah menjadi refleksi tentang diri kita. Perubahan lingkungan perkotaan yang kita tinggali jika disadari telah mengalami perubahan dalam semua aspek kehidupan.

Hidung kita telah dipaksa untuk beradaptasi menghirup udara polutan, telinga mulai terbiasa mendengar suara-suara bising kendaraan, kaki-kaki mulai enggan diajak berjalan menelusuri trotoar kota atau sekedar bersepeda menuju tempat kerja. Akibatnya sebagian besar dari kita telah menjadi “bebal” akan kesemrawutan dan kekacauaan yang terjadi karena sirnanya kepekaan panca indera kita pada lingkungan.
*
Hingga hari ini, kota-kota kita masih saja berkutat pada masalah yang berakronim “BMKG”. Banjir, Macet, Kemiskinan (kesehatan, kekumuhan, kebakaran), dan Gusur (gusur lahan untuk jadi bangunan). Semakin banyaknya aktivitas penggusuran lahan mengakibatkan “Bumi Makin Kering dan Gersang”. Di kota-kota besar kini lahan menjadi tuan yang diidam-idamkan. Bangunan beton kini ramai-ramai didirikan karena dianggap lebih memiliki nilai ekonomi ketimbang mempertahankan ekosistem di dalamnya. Konversi lahan perkotaan yang berlebihan tentu akan menciptakan dampak yang serius.

Nirwono Joga dan Iwan Semaun mencoba mengungkapkan dan memetakan persoalan lingkungan yang kerap dialami wilayah perkotaan. Dalam bukunya “RTH 30%! Resolusi (Kota) Hijau”, mereka berpendapat jika pengoptimalan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebesar 30 persen dapat direalisasikan, permasalahan di wilayah perkotaan akan minimal. Setidaknya lahan 30 persen dapat memenuhi standar kebutuhan kesehatan, sosial budaya, dan mendukung sistem ekologi wilayah perkotaan. Secara umum mereka membagi tujuh bab utama dalam bukunya. Sebagai  pembuka, bab pertama memaparkan latar belakang mengapa kota dan kita memerlukan RTH sebesar 30 persen.

RTH 30 persen adalah amanat, sesuai UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, semua kota-kota di Indonesia diisyaratkan mewujudkan RTH sebesar 30 persen. Angka minimal RTH 30 persen merupakan angka yang wajar untuk keseimbangan ekosistem kota, hal ini dikarenakan untuk menetralisasi karbon dioksida yang dikeluarkan berbagai jenis kendaraan, diperlukan penghijauan tanaman yang cukup banyak. Dari studi yang telah dilakukan berdasarkan lalu lintas kebutuhan (traffic demand) dengan metode long-range energy alternative planning (LEAP), pada tahun 2015 misalnya, jutaan kendaraan yang berseliweran di DKI Jakarta akan menyumbang 38.322,46 ton CO2 per hari.  Untuk menetralisir CO2 tersebut dibutuhkan RTH sebesar 32,04 persen dari luas kota (PPE UI, 2000).

Bab kedua Nirwono dan Semaun mencoba untuk mengungkapkan fakta-fakta keadaan RTH di lapangan. Di Jakarta, dari data yang ada menunjukan bahwa tiga kecamatan telah menjadi kawasan terbangun lebih dari 90 persen, antara lain Kecamatan Tambora 92,82%, Kecamatan Johar Baru 91,49%, dan Kecamatan Cempaka Putih 91,49%. Ini mengindikasikan bahwa RTH di kawasan tersebut sangat minimal, yaitu kurang dari 10 persen. Berkurangnya RTH dan bertambahnya dominasi lahan terbangun di kota-kota besar memberikan dampak pada keseimbangan ekosistem kota dengan indikasi penurunan kualitas lingkungan perkotaan seperti muncul bencana ekologi banjir, fenomena meningkatnya suhu iklim, peresapan air terbuka yang mengering dan meningkatnya pencemaran udara.

 Menimbang kembali peranan RTH sebagai infrastruktur hijau, bab tiga membahas tentang peranan dan manfaat RTH bagi wilayah perkotaan. Pembangunan RTH sebagai infrastruktur hijau di wilayah perkotaan bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup perkotaan yang nyaman, segar, indah, dan bersih. Maka dari itu RTH memiliki fungsi sosial, yaitu sebagai pelayanan fasilitas umum bagi masyarakat untuk berinteraksi, berwisata, dan berolahraga. Dalam sisi ekologi RTH memiliki fungsi sebagai area konservasi terbuka dan air, pengendali pencemaran serta memegang peranan dalam sistem hidrologis dan klimatologis. Selain itu sebagai sarana pendidikan, penyuluhan, dan memberikan nilai estetika. Dalam penataan ruang perkotaan fungsi RTH tentu lebih ditekankan pada fungsi ekologis.

Keberadaan RTH sendiri selama ini rawan terhadap perubahan fungsi, daerah pertanian, situ, waduk, tepian sungai, dan daerah hijau lainnya merupakan kawasan yang rawan terhadap konversi. Di sisi lain, potensi penyediaan RTH pada lahan privat, seperti halaman atau pekarangan bangunan, belum diperhitungkan sumbangannya sebagai RTH kota. Maka pada bab empat ini penulis memiliki pandangan untuk memaksimalkan potensi RTH melalui pemberdayaan masyarakat dengan melirik potensi RTH privat. Lalu solusi apa yang ditawarkan untuk meninngkatkan partisipasi masyarakat? Menurut mereka, solusinya adalah dengan memberikan insentif. “Insentif tersebut dapat berupa kemudahan untuk mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), selain itu pemerintah dapat memberikan fasilitas bagi masyarakat yang telah berkontribusi nyata dalam membangun RTH di lingkungannya” tulis mereka.

Bab selanjutnya memaparkan kualitas RTH masa kini. Kualitas RTH yang dimaksud adalah hal-hal yang berkaitan dengan berfungsinya proses-proses ekologis yang melekat pada RTH (hidrologis, klimatologis, dan fungsi lainnya), serta fungsi sosial dan estetika lingkungan kota. Kini RTH telah mengalami degradasi fungsi dan kualitas akibat perubahan RTH alami menjadi RTH binaan yang pengembangannya lebih (hanya) diarahkan pada fungsi sosial dan estetika, sehingga fungsi ekologisnya kurang optimal. RTH alami yang dimaksud disini merupakan lanskap alami kota, sedangkan RTH binaan (second hand nature) adalah taman kota, taman lingkungan, dan taman halaman.

Pada bab terakhir Narwono dan Iwan menjabarkan delapan strategi pengembangan RTH kota, yaitu mencakup upaya menetapkan daerah yang tidak boleh dibangun, membangun lahan hijau baru seperti taman kota. Selain itu, menurut mereka strategi yang logis dilakukan adalah dengan mengembangkan koridor ruang hijau kota (link), mengakuisisi RTH privat untuk diintegrasikan dengan RTH kota, merefungsi RTH yang telah ada dan menerapkan konsep “menghijaukan langit kota”. Untuk itu diperlukan pembuatan kebijakan yang prohijau, dan yang tak kalah penting adalah memberdayakan komunitas hijau.
            
          Dalam buku ini penulis menyajikan studi kasus yang lugas mengenai degradasi ekologis yang dialami DKI Jakarta. Namun sayangnya pembahasan lebih banyak dihabiskan untuk mengkritik dan fokus pada satu subjek penelitian, yaitu DKI Jakarta. Padahal permasalahan lingkungan tiap kota memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Selain itu, pemilihan jenis kertas buram menyebabkan data grafik yang disajikan sulit untuk dibaca pembaca. Meskipun demikian, secara umum buku ini menarik untuk dibaca selain karena bahasanya mudah dipahami, isu yang dibahas dalam buku ini pun aktual.

Sunday 2 March 2014

Beasiswa Data Print

Beasiswa Dataprint

Persyaratan Umum:
1. Pelajar/mahasiswa aktif dari tingkat SMP
hingga perguruan tinggi untuk jenjang D3/S1

2. Terlibat aktif di kegiatan atau organisasi
sekolah/perguruan tinggi

3. Tidak terlibat narkoba atau pernah melakukan tindak
kriminal
 
4. Tidak sedang menerima beasiswa dari
perusahaan lain. Jika saat ini peserta masih
menerima beasiswa dari kampus, peserta berhak
mengikuti pendaftaran beasiswa dari DataPrint.
 
5. Penerima beasiswa di periode 2 tahun 2013 tidak dapat
menjadi penerima beasiswa di periode 1 tahun 2014.
peraturan >> beasiswadataprint.com/?page_id=2
Pendaftaran periode 1 : Februari – 30 Juni 2014
Pengumuman : 10 Juli 2014
Pendaftaran periode 2 : 1 Juli – 31 Desember
2014
 
Pengumuman : 12 Januari 2015
info >> beasiswadataprint.com/