Narrow a Window
Setiap remaja memiliki gelora
semangat muda, ibarat api yang berkobar melahap daun-daun kering untuk menjadi
semakin besar dan besar. Pengalaman, momen dan cerita keberhasilan ingin mereka
capai sedini mungkin dengan tangan muda mereka. Dan inilah yang dilakukan saya
dan seorang teman, berburu cerita untuk
menjadi sebuah pengalaman dan modal demi mencapai keberhasilan yang sesungguhnya.
Kami berwirausaha lain dengan yang lainnya,
dengan menjual sandal. Bagi kebanyakan anak muda yang mengutamakan
tampilan dan gengsi tentu tak akan mau dan mampu. Begitupula kami, sebetulnya
kami malu dan gengsi, sama seperti kebanyakan muda-mudi dan itu manusiawi.
Namun kami memandang dengan sudut lensa yang berbeda “ini adalah tantangan,
peluang untuk mengasah kemampuan dan bekal. Let’s do this!” itulah kalimat yang
kami tekankan sebelum berjalan mencari pembeli sandal :v
Sandal yang kami jual sebetulnya
bukan sandal yang dipakai kebanyakan orang. Mengusung tema “lucu” produk sandal
baru ini memberi inovasi baru pada sandal dengan menampilkan bentuk dan
warna-warna lucu. Sangat cocok dipakai untuk menambah kelucuan anak ibu dirumah
:v . Sandal ini memiliki ukuran bermacam-macam, mulai dari bayi yang baru bisa
jalan sampe kakek-kakek yang tak mau jalan.
Pada saat itu pemuda indonesia sedang
terserang sindrom “unyu”, banyak remaja menggilai suatu hal yang dinilai mampu
mendograk sisi kelucuan/keimutan dalam diri seseorang. Semua serba unyu, dan
menarik, bahkan hal-hal aneh tiba-tiba dianggap sebagai sesuatu yang lucu. Kami
melihat ada peluang, yang disebut narrow
a window. Peluang yang hanya akan muncul sekali dengan cepat dan akan hilang
pulang dengan cepat, diibarat seperti jendela yang terbuka sedikit lalu akan
kembali menutup. Tak ingin kesempatan itu pergi begitu saja kami berusaha
mengambil untung dari trend yang sedang menjadi.
Singkat cerita apa yang kami yakini terbukti, tak hanya anak kecil –target awal kami- bahkan anak-anak
remaja SMA merespon dengan sangat cepat. Apa yang disebut sebagai omset kini meningkat sangat tajam,
menghasilkan permintaan yang membludak. Perasaan senang dan bangga berteriak-teriak
dalam hati kami, mengatakan bahwa “kita berhasil memanfaatkan peluang bung!”.
Uang jajan dan kebutuhan berhasil kami dapatkan dengan usaha sendiri, dan
tterpenting memotivasi beberapa teman untuk ikut berwirausaha, ada sekitar 5
anak yang akhirnya bergabung dalam induk usaha kami menjual Sandal Lucu
(SANCU), selain itu beberapa anak yang lainnya juga termotivasi untuk
berwirausaha dengan menjual barang yang berbeda.
Kami lalu memperluas pasar, mencari
agen-agen dibawah kami di beberapa sekolah dan lingkungan rumah. Kami kembali
berhasil, omset naik dan sinilah “masalah” mulai muncul. Status kami yang masih
pelajar SMA kelas 3 seolah memberikan warning
pada kami “Awas anda mulai menjadi sibuk dan meninggalkan kewajiban sebagai
siswa”. Kami sadari betul problem
ini, kami mencoba untuk membagi prioritas dengan menjadwalkan usaha di luar
waktu belajar sekolah, namun itu sulit karena permintaan selalu datang memaksa
–memang seperti itulah usaha. Manajemen usaha kami pun tak sematang “mendoan”, pada
mulanya kami memang membuat manajemen sederhana dengan mencatat pesanan dalam
sebuah buku lengkap dengan nama pemesan, hari, model dan ukuran sandal serta
pembagian tugas di antara kami namun semakin lama kami semakin seenaknya
berusaha, tanpa ada pengaturan manajemen, tak ada pembagian tugas lagi, tak ada
catat mencatat lagi. Karena pesanan yang banyak dan tanpa manajemen kami mulai
merasakan stres. Beberapa kali kami mengecewakan agen di bawah kami,
akhirnya kami mengambil sebuah solusi.
Menghentikan usaha. Keuntungan dari penjualan yang banyak telah melupakan
niat dan tujuan kami dari awal, yaitu mencari
pengalaman. Tujuan kami sebatas untuk mencari pengalaman dan jika dipikir-pikir
kami sudah mendapatkannya secara umum, cukup untuk menjadi pembelajaran dan
bekal nantinya.
Kadang solusi terbaik dalam usaha adalah dengan
berhenti dan belajar. Banyak usahawan yang memaksa berjalan dengan manajemen
yang rusak dan akhirnya berakhir bangkrut dengan menyisakan kerugian dan
hutang. Kebanyakan dari mereka tak mau sadar,
dan akhirnya berusaha menutupi
hal itu dari pelanggan. Pikiran kami
saat itu adalah berhenti sebelum berjalan ke jurang. Ada hal lain yang akan dikorbankan, pendidikan, kebebasan
masa muda, masa depan dan kepercayaan orang lain (pelanggan).