Sunday 23 March 2014

Ruang Terbuka Hijau 30% Solusi Kota Berwawasan Lingkungan



Judul               : RTH 30% Resolusi (Kota) Hijau
Penulis             : Nirwono Joga dan Iwan Semaun
Penerbit           : PT Gramedia Pustaka
Tebal               : 272 halaman
Waktu terbit    : 2011

Degradasi kualitas lingkungan membuat kota harus mencari (lagi) keseimbangan ekosistem kota yang berkelanjutan. RTH, resolusi kota hijau.

RTH 30% Revolusi Kota Hijau

Seekor katak secara naluri pasti akan langsung melompat keluar menyelamatkan diri ketika dimasukan ke dalam kuali berisi air mendidih. Namun akan berbeda cerita ketika dari awal katak itu dimasukan ke dalam kuali berisi air dingin yang akan direbus. Si katak akan tetap berada dalam kuali karena air dingin membuatnya merasa nyaman. Ketika air dipanaskan secara perlahan katak akan tetap diam, ini terjadi karena tubuh katak mampu beradaptasi menikmati hangatnya perubahan suhu. Akibatnya katak tak pernah menyadari adanya ancaman karena terbiaskan oleh kenikmatan sesaat. 

Kisah balada katak rebus yang dituturkan Peter Senge (The Fifth Disipline: 1990) sesungguhnya telah menjadi refleksi tentang diri kita. Perubahan lingkungan perkotaan yang kita tinggali jika disadari telah mengalami perubahan dalam semua aspek kehidupan.

Hidung kita telah dipaksa untuk beradaptasi menghirup udara polutan, telinga mulai terbiasa mendengar suara-suara bising kendaraan, kaki-kaki mulai enggan diajak berjalan menelusuri trotoar kota atau sekedar bersepeda menuju tempat kerja. Akibatnya sebagian besar dari kita telah menjadi “bebal” akan kesemrawutan dan kekacauaan yang terjadi karena sirnanya kepekaan panca indera kita pada lingkungan.
*
Hingga hari ini, kota-kota kita masih saja berkutat pada masalah yang berakronim “BMKG”. Banjir, Macet, Kemiskinan (kesehatan, kekumuhan, kebakaran), dan Gusur (gusur lahan untuk jadi bangunan). Semakin banyaknya aktivitas penggusuran lahan mengakibatkan “Bumi Makin Kering dan Gersang”. Di kota-kota besar kini lahan menjadi tuan yang diidam-idamkan. Bangunan beton kini ramai-ramai didirikan karena dianggap lebih memiliki nilai ekonomi ketimbang mempertahankan ekosistem di dalamnya. Konversi lahan perkotaan yang berlebihan tentu akan menciptakan dampak yang serius.

Nirwono Joga dan Iwan Semaun mencoba mengungkapkan dan memetakan persoalan lingkungan yang kerap dialami wilayah perkotaan. Dalam bukunya “RTH 30%! Resolusi (Kota) Hijau”, mereka berpendapat jika pengoptimalan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebesar 30 persen dapat direalisasikan, permasalahan di wilayah perkotaan akan minimal. Setidaknya lahan 30 persen dapat memenuhi standar kebutuhan kesehatan, sosial budaya, dan mendukung sistem ekologi wilayah perkotaan. Secara umum mereka membagi tujuh bab utama dalam bukunya. Sebagai  pembuka, bab pertama memaparkan latar belakang mengapa kota dan kita memerlukan RTH sebesar 30 persen.

RTH 30 persen adalah amanat, sesuai UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, semua kota-kota di Indonesia diisyaratkan mewujudkan RTH sebesar 30 persen. Angka minimal RTH 30 persen merupakan angka yang wajar untuk keseimbangan ekosistem kota, hal ini dikarenakan untuk menetralisasi karbon dioksida yang dikeluarkan berbagai jenis kendaraan, diperlukan penghijauan tanaman yang cukup banyak. Dari studi yang telah dilakukan berdasarkan lalu lintas kebutuhan (traffic demand) dengan metode long-range energy alternative planning (LEAP), pada tahun 2015 misalnya, jutaan kendaraan yang berseliweran di DKI Jakarta akan menyumbang 38.322,46 ton CO2 per hari.  Untuk menetralisir CO2 tersebut dibutuhkan RTH sebesar 32,04 persen dari luas kota (PPE UI, 2000).

Bab kedua Nirwono dan Semaun mencoba untuk mengungkapkan fakta-fakta keadaan RTH di lapangan. Di Jakarta, dari data yang ada menunjukan bahwa tiga kecamatan telah menjadi kawasan terbangun lebih dari 90 persen, antara lain Kecamatan Tambora 92,82%, Kecamatan Johar Baru 91,49%, dan Kecamatan Cempaka Putih 91,49%. Ini mengindikasikan bahwa RTH di kawasan tersebut sangat minimal, yaitu kurang dari 10 persen. Berkurangnya RTH dan bertambahnya dominasi lahan terbangun di kota-kota besar memberikan dampak pada keseimbangan ekosistem kota dengan indikasi penurunan kualitas lingkungan perkotaan seperti muncul bencana ekologi banjir, fenomena meningkatnya suhu iklim, peresapan air terbuka yang mengering dan meningkatnya pencemaran udara.

 Menimbang kembali peranan RTH sebagai infrastruktur hijau, bab tiga membahas tentang peranan dan manfaat RTH bagi wilayah perkotaan. Pembangunan RTH sebagai infrastruktur hijau di wilayah perkotaan bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup perkotaan yang nyaman, segar, indah, dan bersih. Maka dari itu RTH memiliki fungsi sosial, yaitu sebagai pelayanan fasilitas umum bagi masyarakat untuk berinteraksi, berwisata, dan berolahraga. Dalam sisi ekologi RTH memiliki fungsi sebagai area konservasi terbuka dan air, pengendali pencemaran serta memegang peranan dalam sistem hidrologis dan klimatologis. Selain itu sebagai sarana pendidikan, penyuluhan, dan memberikan nilai estetika. Dalam penataan ruang perkotaan fungsi RTH tentu lebih ditekankan pada fungsi ekologis.

Keberadaan RTH sendiri selama ini rawan terhadap perubahan fungsi, daerah pertanian, situ, waduk, tepian sungai, dan daerah hijau lainnya merupakan kawasan yang rawan terhadap konversi. Di sisi lain, potensi penyediaan RTH pada lahan privat, seperti halaman atau pekarangan bangunan, belum diperhitungkan sumbangannya sebagai RTH kota. Maka pada bab empat ini penulis memiliki pandangan untuk memaksimalkan potensi RTH melalui pemberdayaan masyarakat dengan melirik potensi RTH privat. Lalu solusi apa yang ditawarkan untuk meninngkatkan partisipasi masyarakat? Menurut mereka, solusinya adalah dengan memberikan insentif. “Insentif tersebut dapat berupa kemudahan untuk mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), selain itu pemerintah dapat memberikan fasilitas bagi masyarakat yang telah berkontribusi nyata dalam membangun RTH di lingkungannya” tulis mereka.

Bab selanjutnya memaparkan kualitas RTH masa kini. Kualitas RTH yang dimaksud adalah hal-hal yang berkaitan dengan berfungsinya proses-proses ekologis yang melekat pada RTH (hidrologis, klimatologis, dan fungsi lainnya), serta fungsi sosial dan estetika lingkungan kota. Kini RTH telah mengalami degradasi fungsi dan kualitas akibat perubahan RTH alami menjadi RTH binaan yang pengembangannya lebih (hanya) diarahkan pada fungsi sosial dan estetika, sehingga fungsi ekologisnya kurang optimal. RTH alami yang dimaksud disini merupakan lanskap alami kota, sedangkan RTH binaan (second hand nature) adalah taman kota, taman lingkungan, dan taman halaman.

Pada bab terakhir Narwono dan Iwan menjabarkan delapan strategi pengembangan RTH kota, yaitu mencakup upaya menetapkan daerah yang tidak boleh dibangun, membangun lahan hijau baru seperti taman kota. Selain itu, menurut mereka strategi yang logis dilakukan adalah dengan mengembangkan koridor ruang hijau kota (link), mengakuisisi RTH privat untuk diintegrasikan dengan RTH kota, merefungsi RTH yang telah ada dan menerapkan konsep “menghijaukan langit kota”. Untuk itu diperlukan pembuatan kebijakan yang prohijau, dan yang tak kalah penting adalah memberdayakan komunitas hijau.
            
          Dalam buku ini penulis menyajikan studi kasus yang lugas mengenai degradasi ekologis yang dialami DKI Jakarta. Namun sayangnya pembahasan lebih banyak dihabiskan untuk mengkritik dan fokus pada satu subjek penelitian, yaitu DKI Jakarta. Padahal permasalahan lingkungan tiap kota memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Selain itu, pemilihan jenis kertas buram menyebabkan data grafik yang disajikan sulit untuk dibaca pembaca. Meskipun demikian, secara umum buku ini menarik untuk dibaca selain karena bahasanya mudah dipahami, isu yang dibahas dalam buku ini pun aktual.

No comments:

Post a Comment