Judul : RTH 30% Resolusi (Kota) Hijau
Penulis : Nirwono Joga dan Iwan Semaun
Penerbit : PT Gramedia Pustaka
Tebal : 272 halaman
Waktu terbit : 2011
Degradasi
kualitas lingkungan membuat kota harus mencari (lagi) keseimbangan ekosistem
kota yang berkelanjutan. RTH, resolusi kota hijau.
RTH
30% Revolusi Kota Hijau
Seekor
katak secara naluri pasti akan langsung melompat keluar menyelamatkan diri
ketika dimasukan ke dalam kuali berisi air mendidih. Namun akan berbeda cerita
ketika dari awal katak itu dimasukan ke dalam kuali berisi air dingin yang akan
direbus. Si katak akan tetap berada dalam kuali karena air dingin membuatnya merasa
nyaman. Ketika air dipanaskan secara perlahan katak akan tetap diam, ini
terjadi karena tubuh katak mampu beradaptasi menikmati hangatnya perubahan
suhu. Akibatnya katak tak pernah menyadari adanya ancaman karena terbiaskan
oleh kenikmatan sesaat.
Kisah
balada katak rebus yang dituturkan Peter Senge (The Fifth Disipline: 1990)
sesungguhnya telah menjadi refleksi tentang diri kita. Perubahan lingkungan
perkotaan yang kita tinggali jika disadari telah mengalami perubahan dalam
semua aspek kehidupan.
Hidung
kita telah dipaksa untuk beradaptasi menghirup udara polutan, telinga mulai
terbiasa mendengar suara-suara bising kendaraan, kaki-kaki mulai enggan diajak
berjalan menelusuri trotoar kota atau sekedar bersepeda menuju tempat kerja.
Akibatnya sebagian besar dari kita telah menjadi “bebal” akan kesemrawutan dan
kekacauaan yang terjadi karena sirnanya kepekaan panca indera kita pada
lingkungan.
*
Hingga
hari ini, kota-kota kita masih saja berkutat pada masalah yang berakronim
“BMKG”. Banjir, Macet, Kemiskinan (kesehatan, kekumuhan, kebakaran), dan Gusur
(gusur lahan untuk jadi bangunan). Semakin banyaknya aktivitas penggusuran
lahan mengakibatkan “Bumi Makin Kering dan Gersang”. Di kota-kota besar kini
lahan menjadi tuan yang diidam-idamkan. Bangunan beton kini ramai-ramai
didirikan karena dianggap lebih memiliki nilai ekonomi ketimbang mempertahankan
ekosistem di dalamnya. Konversi lahan perkotaan yang berlebihan tentu akan
menciptakan dampak yang serius.
Nirwono
Joga dan Iwan Semaun mencoba mengungkapkan dan memetakan persoalan lingkungan
yang kerap dialami wilayah perkotaan. Dalam bukunya “RTH 30%! Resolusi (Kota)
Hijau”, mereka berpendapat jika pengoptimalan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebesar
30 persen dapat direalisasikan, permasalahan di wilayah perkotaan akan minimal.
Setidaknya lahan 30 persen dapat memenuhi standar kebutuhan kesehatan, sosial
budaya, dan mendukung sistem ekologi wilayah perkotaan. Secara umum mereka membagi
tujuh bab utama dalam bukunya. Sebagai
pembuka, bab pertama memaparkan latar belakang mengapa kota dan kita
memerlukan RTH sebesar 30 persen.
RTH
30 persen adalah amanat, sesuai UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, semua
kota-kota di Indonesia diisyaratkan mewujudkan RTH sebesar 30 persen. Angka
minimal RTH 30 persen merupakan angka yang wajar untuk keseimbangan ekosistem
kota, hal ini dikarenakan untuk menetralisasi karbon dioksida yang dikeluarkan
berbagai jenis kendaraan, diperlukan penghijauan tanaman yang cukup banyak.
Dari studi yang telah dilakukan berdasarkan lalu lintas kebutuhan (traffic demand) dengan metode long-range energy alternative planning (LEAP),
pada tahun 2015 misalnya, jutaan kendaraan yang berseliweran di DKI Jakarta
akan menyumbang 38.322,46 ton CO2 per hari. Untuk menetralisir CO2 tersebut
dibutuhkan RTH sebesar 32,04 persen dari luas kota (PPE UI, 2000).
Bab
kedua Nirwono dan Semaun mencoba untuk mengungkapkan fakta-fakta keadaan RTH di
lapangan. Di Jakarta, dari data yang ada menunjukan bahwa tiga kecamatan telah
menjadi kawasan terbangun lebih dari 90 persen, antara lain Kecamatan Tambora
92,82%, Kecamatan Johar Baru 91,49%, dan Kecamatan Cempaka Putih 91,49%. Ini
mengindikasikan bahwa RTH di kawasan tersebut sangat minimal, yaitu kurang dari
10 persen. Berkurangnya RTH dan bertambahnya dominasi lahan terbangun di kota-kota
besar memberikan dampak pada keseimbangan ekosistem kota dengan indikasi
penurunan kualitas lingkungan perkotaan seperti muncul bencana ekologi banjir, fenomena
meningkatnya suhu iklim, peresapan air terbuka yang mengering dan meningkatnya
pencemaran udara.
Menimbang kembali peranan RTH sebagai
infrastruktur hijau, bab tiga membahas tentang peranan dan manfaat RTH bagi
wilayah perkotaan. Pembangunan RTH sebagai infrastruktur hijau di wilayah
perkotaan bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup perkotaan yang
nyaman, segar, indah, dan bersih. Maka dari itu RTH memiliki fungsi sosial,
yaitu sebagai pelayanan fasilitas umum bagi masyarakat untuk berinteraksi,
berwisata, dan berolahraga. Dalam sisi ekologi RTH memiliki fungsi sebagai area
konservasi terbuka dan air, pengendali pencemaran serta memegang peranan dalam sistem
hidrologis dan klimatologis. Selain itu sebagai sarana pendidikan, penyuluhan,
dan memberikan nilai estetika. Dalam penataan ruang perkotaan fungsi RTH tentu lebih
ditekankan pada fungsi ekologis.
Keberadaan
RTH sendiri selama ini rawan terhadap perubahan fungsi, daerah pertanian, situ,
waduk, tepian sungai, dan daerah hijau lainnya merupakan kawasan yang rawan
terhadap konversi. Di sisi lain, potensi penyediaan RTH pada lahan privat,
seperti halaman atau pekarangan bangunan, belum diperhitungkan sumbangannya
sebagai RTH kota. Maka pada bab empat ini penulis memiliki pandangan untuk
memaksimalkan potensi RTH melalui pemberdayaan masyarakat dengan melirik
potensi RTH privat. Lalu solusi apa yang ditawarkan untuk meninngkatkan
partisipasi masyarakat? Menurut mereka, solusinya adalah dengan memberikan
insentif. “Insentif tersebut dapat berupa kemudahan untuk mendapatkan Izin
Mendirikan Bangunan (IMB), selain itu pemerintah dapat memberikan fasilitas bagi
masyarakat yang telah berkontribusi nyata dalam membangun RTH di lingkungannya”
tulis mereka.
Bab
selanjutnya memaparkan kualitas RTH masa kini. Kualitas RTH yang dimaksud adalah
hal-hal yang berkaitan dengan berfungsinya proses-proses ekologis yang melekat
pada RTH (hidrologis, klimatologis, dan fungsi lainnya), serta fungsi sosial
dan estetika lingkungan kota. Kini RTH telah mengalami degradasi fungsi dan
kualitas akibat perubahan RTH alami menjadi RTH binaan yang pengembangannya
lebih (hanya) diarahkan pada fungsi sosial dan estetika, sehingga fungsi
ekologisnya kurang optimal. RTH alami yang dimaksud disini merupakan lanskap
alami kota, sedangkan RTH binaan (second
hand nature) adalah taman kota, taman lingkungan, dan taman halaman.
Pada
bab terakhir Narwono dan Iwan menjabarkan delapan strategi pengembangan RTH
kota, yaitu mencakup upaya menetapkan daerah yang tidak boleh dibangun,
membangun lahan hijau baru seperti taman kota. Selain itu, menurut mereka
strategi yang logis dilakukan adalah dengan mengembangkan koridor ruang hijau
kota (link), mengakuisisi RTH privat
untuk diintegrasikan dengan RTH kota, merefungsi RTH yang telah ada dan menerapkan
konsep “menghijaukan langit kota”. Untuk itu diperlukan pembuatan kebijakan
yang prohijau, dan yang tak kalah penting adalah memberdayakan komunitas hijau.
Dalam buku ini penulis menyajikan studi kasus yang lugas
mengenai degradasi ekologis yang dialami DKI Jakarta. Namun sayangnya pembahasan
lebih banyak dihabiskan untuk mengkritik dan fokus pada satu subjek penelitian,
yaitu DKI Jakarta. Padahal permasalahan lingkungan tiap kota memiliki
karakteristik yang berbeda-beda. Selain itu, pemilihan jenis kertas buram
menyebabkan data grafik yang disajikan sulit untuk dibaca pembaca. Meskipun
demikian, secara umum buku ini menarik untuk dibaca selain karena bahasanya
mudah dipahami, isu yang dibahas dalam buku ini pun aktual.
No comments:
Post a Comment