Intervensi Budaya, Solusi Mencegah
Korupsi
Kini
korupsi telah berkembang. Menjadi bukan
sekedar tindak kriminal.
Tanggal
9 Desember mendatang seluruh dunia akan memperingati hari antikorupsi.
Peringatan tersebut menegaskan kembali tentang kesadaran internasional bahwa
korupsi adalah musuh yang harus diperangi oleh semua pihak. Di Indonesia
sendiri korupsi sudah terlalu banyak. Dari korupsi mini untuk memenuhi
kehidupan sehari-hari sampai korupsi sistematik bahkan korupsi maksi (di atas
Rp 1 miliar) karena nafsu keserakahan seperti yang dilakukan para terpidana KPK
di negeri ini.
Tak
hanya aspek kuantitas, kualitas pelaku korupsi di Indonesia pun semakin hari
semakin meningkat. Tak tanggung-tanggung, pelakunya menduduki posisi yang
semakin tinggi dari waktu ke waktu. Hal itu menunjukan bahwa korupsi telah
bertransformasi menjadi kejahatan kaum profesional dan semakin sistematik. Hasil
jejak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas pada 2 Desember lalu memperkuat
pandangan itu. Nyaris seluruh responden (94 persen) menyatakan, perilaku
korupsi, khususnya di tingkat elite, sudah sangat parah kondisinya dan
menghawatirkan.
Hukuman
bagi Koruptor
Menurut
publik, hal penting yang harus dilakukan kepada koruptor adalah memperberat
hukuman yang membuat jera. Salah satuunya adalah memperberat hukuman yang
dijatuhkan bagi pelaku korupsi agar calon koruptor lainnya menjadi berpikir ribuan
kali sebelum melakukan aksi kejahatan korupsi. Bentuk hukuman yang paling
pantas (menurut responden) bagi koruptor dan ditengarai dapat memberikan efek
jera adalah memiskinkan koruptor. Seluruh harta hasil korupsi harus disita
sehingga koruptor tak bisa membuat kalkulasi secara ekonomi dari perilaku
jahatnya merampok uang negara. Selain itu, dengan tambahan hukuman penjara dan
sanksi sosial, pelaku akan merasakan penderitaan masyarakat yang
kesejahteraannya telah mereka renggut. (Kompas, 2 Desember 2013)
Di
Indonesia, hukuman bagi koruptor bervariasi, mulai dari hukuman 1 tahun penjara
hingga 20 tahun penjara. Namun, denda paling banyak adalah Rp 1 miliar. Lalu
bagaimana jika uang yang dikorupsi melebihi Rp 1 miliar? Tentu saja secara
tidak kasatmata koruptor masih diuntungkan. Bentuk hukuman penjara yang jarang
menyentuh hukuman maksimal dan tanpa disertai pemiskinan koruptor, dinilai
tidak efektif karena tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Berdasarkan
putusan Mahkamah Agung tahun 2001-2002, biaya penanganan korupsi telah mencapai
Rp 168,19 triliun, sementara nilai hukuman yang harus dibayar koruptor hanya Rp
15,09 triliun. Dengan demikian, selisih biaya sebesar Rp 153,1 triliun harus
ditanggung masyarakat (Rimawan Pradiptyo, pengamat ekonomi dari Universitas
Gadjah Mada yang memaparkan hasil penelitian P2EB FEB UGM). Dengan kata lain,
di negera ini, hukuman koruptor disubsidi oleh masyarakat. Lengkap sudah
penderitaan rakyat, terutama yang berpenghasilan rendah, karena subsidi yang menjadi hak mereka justru dinikmati oleh
si kaya (Kompas, 18 Juni 2013). Fakta ini memberikan penyadaran bahwa selama
ini hukuman bagi koruptor tidak berhasil memberikan efek jera kepada mereka
yang akan korupsi.
Budaya
Korupsi
KPK
memang sudah bekerja keras, sejauh ini hasilnya sudah sama-sama kita saksikan.
Kiprahnya pun terus meningkat dari tahun ke tahun, meskipun begitu sebagian
publik menyatakan upaya tersebut belum maksimal. Hal itu terutama terkait
pemberantasan kasus-kasus korupsi kakap yang tak kunjung terselesaikan dan
melibatkan sejumlah pejabat tinggi negara. Sebenarnya persoalan utamanya bukan
soal hukum dan penegakannya. Karena faktanya UU dan peraturan yang di negara
ini sudah banyak, tumpang tindih, bahkan ada yang berlawanan sehingga para
pejabat pusing memahaminya. Apalagi melaksanakannya. Menghukum koruptor memang
tak salah, jera atau tidak, koruptor memang harus dihukum. Namun, mengharapkan
korupsi berkurang dari negeri ini, jangan diharapkan. Seribu KPK tak akan
menuntaskan masalah korupsi karena di Indonesia korupsi telah menjadi budaya. KPK
(juga polisi, jaksa dan hakim) selama ini hanya bekerja di bagian hilir dari
budaya korupsi yang sudah berkembang hingga saat ini (memandang korupsi sebatas
perilaku individual) dan tak sedikit pun melirik bagian hulunya (yang merupakan
komponen pembentuk budaya korupsi), yaitu pola pikir/kepercayaan masyarakat.
(Sarlito, dalam Kompas, 11 Oktober 2013)
Menurut
J.J Honigmann dalam buku pelajaran antropologinya yang berjudul The World of Man, kebudayaan terdiri atas tiga wujud, yaitu ideas (termasuk sistem kepercayaan), activities (tindakan dan perilaku) dan artifacts
(benda-benda fisik kebudayaan) yang berlaku, dikuti dan dilaksanakan oleh
masyarakat tertentu. Korupsi memenuhi ketiga komponen itu. Di Indonesia,
korupsi tidak dianggap (kepercayaan) sebagai sesuatu yang 100% salah. Dalam realitas
sosiologis, pandangan corruption
apologist tercermin ketika pejabat yang tertangkap KPK dianggap sebagai
apes, dianggap sial karena ketahuan (keyakinan). Pandangan itu tentunya
dilatarbelakangi kepercayaan/cara berpikir bahwa praktik korupsi adalah biasa
saja dan lazim terjadi. Pandangan itu juga menjelaskan mengapa terdakwa yang
terbukti korupsi di pengadilan tak pernah meminta maaf dan menyesali
perbuatannya. Selain itu tumbuh pandangan bahwa jika sesorang menjadi pejabat
maka ia wajib membagi keberuntungannya dengan keluarga (perilaku). Naik haji
begitu pentingnya (keercayaan) sehingga ada Haji Abidin yang dibiayai dinas. Kepercayaan
seperti itulah yang mendukung tumbuhnya budaya, yaitu korupsi. Artefak-artefak
dari budaya korupsi adalah materi, antara lain mobil, rumah mewah, pangkat
jabatan di dada, sampai isteri cantik lengkap dengan simpanannya. Ironisnya, di
Indonesia, hal seperti itulah yang dijadikan ukuran keberhasilan seseorang,
bahkan dipuja dalam budaya korupsi.
Melawan
budaya korupsi, jadinya, harus dengan budaya juga (antikorupsi). Caranya dengan
mengintervensi ketiga komponen budaya tadi. Pertama, tentu saja melalui
komponen ideas (kepercayaan),
termasuk melalui pendidikan tentang kejujuran dan nilai-nilai kesederhanaan di
sekolah-sekolah. Sayangnya, laporan Indonesia Corruption on Watch (ICW) 2013
menunjukan, kasus korupsi di sektor pendidikan meningkat pesat dalam kurun satu
dasawarsa (2003-2013). Selama satu dasawarsa telah diungkap 196 kasus korupsi
yang menyeret 479 tersangka dengan total nilai kerugian mencapai Rp 99,2 miliar
jika dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu. Dari data tersebut tersirat jelas
bahwa korupsi di sektor pendidikan pun tidak kurang masif dibandingkan dengan
sektor lainnya dan bahkan bisa menjadi langkah “kontraproduktif” untuk
menangkal tindak korupsi. Selain itu metode pendidikan ini biasanya terlalu
lama dan hasilnya pun tidak kasatmata. Karena itu sering dianggap sia-sia.
Cara yang lebih cepat dan efisien adalah
melalui artefak dan/atau perilaku. Oleh karenanya perlu diciptakan artefak yang
memaksa orang berperilaku tertentu (antikorupsi) yang dalam waktu singkat dapat
diinternalisasikan menjadi keyakinan dan budaya baru (jujur). Salah satu contoh
yang telah dilaksanakan pemerintah adalah program e-KTP. Dengan disahkannnya
program e-KTP, tak mungkin lagi ada KTP bodong atau KTP palsu (sumber korupsi),
ditambah pengesahan Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi
kependudukan oleh DPR beberapa waktu lalu (yang salah satu poin penting dalam
Undang-undang itu adalah pemberlakukan e-KTP seumur hidup) semakin mempersempit
peluang hidup korupsi.
Mungkin
pemerintah sekarang, baik tingkat pusat
atau daerah perlu berlomba-lomba berkreativitas untuk menciptakan metode
intervensi artefak ataupun perilaku untuk pencegahan (preventif). Peringatan
hari antikorupsi pekan depan merupakan tonggak bagi masyarakat untuk merapatkan
barisan, mencegah dan memberantas tindak korupsi di negeri ini. Salam JUJUR!
Salam ANTIKORUPSI!
kasus korupsi di negara kita ini memang sangat memprihatinkan gan,,,memang perlunya tindakan melawan korupsi denga cara gerakan "satukan langkah hantam korupsi" sangat bagus untuk dilakukan.
ReplyDeletebagi koruptor dan ditengarai dapat memberikan efek jera adalah memiskinkan koruptor, hukuman ini sangat setuju untuk dilakukan gan,,,
ReplyDelete