Pertanyaan ini pastilah sangat umum kalian dengar, baik dari orang lain maupun dari diri sendiri "Mengapa pengemis di Indonesia itu banyak banget sih? Apa negara ini makin miskin?". Saya pikir "TIDAK". Lalu kenapa pengemis-pengemis itu selalu tumbuh dan tumbuh, beregenerasi layaknya rumput?
Jadi gini, berhubung saya adalah Mahasiswa Ilmu Budaya UGM, saya akan menjelaskannya dari sudut pandang budaya -anggap ini sebagai keahlian saya.
Kebudayaan, What is that?
Kebudayaan
menurut J.J Honigmann dalam buku
pelajaran antropologinya yang berjudul The
World of Man terdiri atas tiga wujud, yaitu ideas (kepercayaan)
activities (tindakan) dan artifacts (benda-benda fisik kebudayaan)
yang berlaku, dikuti dan dilaksanakan oleh masyarakat tertentu.
Kegiatan
mengemis telah memenuhi ketiga wujud kebudayaan itu. Di Indonesia, mengemis
telah dianggap sebagai hal yang biasa (kepercayaan), terbukti oleh banyaknya
masyarakat kita yang menjadikan kegiatan mengemis sebagai mata pencaharian
utama (tindakan). Buktinya pun dapat kita lihat disekeliling kita, dengan
mudahnya kita dapat menemukan pengemis di tempat-tempat ramai sekitar obyek
wisata, sekolah, universitas, pasar, dan masjid. Sedangkan artefaknya ialah
uang tunai hasil kegiatan mengemis itu. Dari penjelasan singkat tadi maka dapat
diambil kesimpulan bahwa kegiatan mengemis merupakan unsur kebudayaan. Menurut
C. Kluckhohn unsur kebudayaan secara universal dibagi menjadi tujuh macam,
yaitu: 1) bahasa, 2) sistem pengetahuan, 3) organisasi sosial, 4) sistem
peralatan, 5) sistem mata pencaharian, 6) sistem religi dan 7) kesenian. Kami
menyimpulkan bahwa kebudayaan mengemis yang telah dibahas diatas merupakan
salah satu unsur kebudayaan universal yang tergolong dalam sistem mata
pencaharian. Ironis memang.
Untuk menguatkan teori tersebut, saya melakukan observasi lapangan di sekitar Jalan Malioboro dan hasilnya ialah
semua narasumber yang kami temui menyatakan jika kegiatan mengemis yang selama
ini mereka lakukan telah menjadi kebiasaan (budaya) dan mata pencaharian yang
menyokong kehidupan mereka. Mereka mengaku tidak memiliki pilihan lain selain
hidup dibawah payung kedermawanan orang-orang disekitar mereka. Paham tersebut
telah menjadi kepercayaan dalam diri mereka, maka ketika ada wacana kebijakan
untuk melarang kegiatan mengemis dari pemerintah daerah atau pusat, mereka akan
langsung ketakutan dan bereaksi seperti cacing yang disiram alkohol. Selain karena tidak ada pilihan -tentu karena
minimnya tingkat pendidikan yang mereka peroleh- mereka mengaku telah nyaman (kepercayaan)
dengan usaha mereka yang mengharapkan belas kasih dari wisatawan-wisatawan yang
datang itu. Bukan hanya para pengemis di sekitar Malioboro tapi hampir
diseluruh pelosok negeri ini, kebudayaan mengemis telah melekat menjadi
kebudayaan di sebagian masyarakat kita. Ini sekaligus menjawab pertanyaan mengapa
pengemis di sekitar kita sangat sulit untuk diberantas. Jawaban sederhananya
adalah karena kegiatan mengemis telah mendarah daging menjadi kebudayaan di
Indonesia, lebih spesifiknya telah menjadi sistem mata pencaharian oleh sebagian
masyarakat yang terjebak oleh kelamnya ekonomi mereka. Ada hal unik yang
berhasil ditemukan dari observasi lapangan yang saya lakukan beberapa bulan lalu -namun belum
ada pengakuan resmi- bahwa hampir seluruh pengemis di Jalan Malioboro memakai
jam tangan. Hipotesis dari saya ialah jam tangan tersebut digunakan oleh mereka
untuk mengatur jadwal mengemis. Kalau ini terbukti benar, maka satu bukti kuat
mendorong pernyataan saya bahwa sistem kegiatan mengemis di Jalan Malioboro
telah berkembang lebih kompleks dan menjadi kegiatan rutin setiap harinya (mata
pecaharian) atau sangat mungkin pula
jika jam tangan tersebut digunakan sebagai sistem shiff (bergiliran) dengan pengemis yang lain? (masih hipotesis).
"Budaya
mengemis merupakan salah satu potret kelam unsur kebudayaan yang hidup dan
berkembang di sekitar kita, namun yang sebenarnya perlu kita maknai adalah
bahwa setiap kebudayaan terlahir dari kebiasaan, maka sejatinya kegiatan mengemis
merupakan contoh nyata, hasil dari kebiasaan buruk yang selama ini kita
biasakan. Jadi, pesan dari saya “jika tidak ingin ada potret budaya kelam lain
di masyaraakat kita, maka ayo! jangan tumbuhkan kebiasaan-kebiasaan buruk. DI
MULAI DARI KITA!”
Sekarang memang banyak sekali pengemis yang ada di negara kita, mungkin memang benar jika ini telah menjadi suatu bidaya yang telah terjadi dan di jadikan sebagai sumber penghadisilan mereka.
ReplyDelete