Tuesday 7 January 2014

Cara Membrantas Pengemis di Indonesia dengan Unsur Budaya



Pertanyaan ini pastilah sangat umum kalian dengar, baik dari orang lain maupun dari diri sendiri "Mengapa pengemis di Indonesia itu banyak banget sih? Apa negara ini makin miskin?". Saya pikir "TIDAK". Lalu kenapa pengemis-pengemis itu selalu tumbuh dan tumbuh, beregenerasi layaknya rumput?
Jadi gini, berhubung saya adalah Mahasiswa Ilmu Budaya UGM, saya akan menjelaskannya dari sudut pandang budaya -anggap ini sebagai keahlian saya. 

Kebudayaan, What is that?
Kebudayaan menurut  J.J Honigmann dalam buku pelajaran antropologinya yang berjudul The World of Man terdiri atas tiga wujud, yaitu ideas (kepercayaan) activities (tindakan) dan artifacts (benda-benda fisik kebudayaan) yang berlaku, dikuti dan dilaksanakan oleh masyarakat tertentu.
Kegiatan mengemis telah memenuhi ketiga wujud kebudayaan itu. Di Indonesia, mengemis telah dianggap sebagai hal yang biasa (kepercayaan), terbukti oleh banyaknya masyarakat kita yang menjadikan kegiatan mengemis sebagai mata pencaharian utama (tindakan). Buktinya pun dapat kita lihat disekeliling kita, dengan mudahnya kita dapat menemukan pengemis di tempat-tempat ramai sekitar obyek wisata, sekolah, universitas, pasar, dan masjid. Sedangkan artefaknya ialah uang tunai hasil kegiatan mengemis itu. Dari penjelasan singkat tadi maka dapat diambil kesimpulan bahwa kegiatan mengemis merupakan unsur kebudayaan. Menurut C. Kluckhohn unsur kebudayaan secara universal dibagi menjadi tujuh macam, yaitu: 1) bahasa, 2) sistem pengetahuan, 3) organisasi sosial, 4) sistem peralatan, 5) sistem mata pencaharian, 6) sistem religi dan 7) kesenian. Kami menyimpulkan bahwa kebudayaan mengemis yang telah dibahas diatas merupakan salah satu unsur kebudayaan universal yang tergolong dalam sistem mata pencaharian. Ironis memang.
 
Untuk menguatkan teori tersebut, saya melakukan observasi lapangan di sekitar Jalan Malioboro dan hasilnya ialah semua narasumber yang kami temui menyatakan jika kegiatan mengemis yang selama ini mereka lakukan telah menjadi kebiasaan (budaya) dan mata pencaharian yang menyokong kehidupan mereka. Mereka mengaku tidak memiliki pilihan lain selain hidup dibawah payung kedermawanan orang-orang disekitar mereka. Paham tersebut telah menjadi kepercayaan dalam diri mereka, maka ketika ada wacana kebijakan untuk melarang kegiatan mengemis dari pemerintah daerah atau pusat, mereka akan langsung ketakutan dan bereaksi seperti cacing yang disiram alkohol.  Selain karena tidak ada pilihan -tentu karena minimnya tingkat pendidikan yang mereka peroleh- mereka mengaku telah nyaman (kepercayaan) dengan usaha mereka yang mengharapkan belas kasih dari wisatawan-wisatawan yang datang itu. Bukan hanya para pengemis di sekitar Malioboro tapi hampir diseluruh pelosok negeri ini, kebudayaan mengemis telah melekat menjadi kebudayaan di sebagian masyarakat kita.  Ini sekaligus menjawab pertanyaan mengapa pengemis di sekitar kita sangat sulit untuk diberantas. Jawaban sederhananya adalah karena kegiatan mengemis telah mendarah daging menjadi kebudayaan di Indonesia, lebih spesifiknya telah menjadi sistem mata pencaharian oleh sebagian masyarakat yang terjebak oleh kelamnya ekonomi mereka. Ada hal unik yang berhasil ditemukan dari observasi lapangan yang saya lakukan beberapa bulan lalu -namun belum ada pengakuan resmi- bahwa hampir seluruh pengemis di Jalan Malioboro memakai jam tangan. Hipotesis dari saya ialah jam tangan tersebut digunakan oleh mereka untuk mengatur jadwal mengemis. Kalau ini terbukti benar, maka satu bukti kuat mendorong pernyataan saya bahwa sistem kegiatan mengemis di Jalan Malioboro telah berkembang lebih kompleks dan menjadi kegiatan rutin setiap harinya (mata pecaharian) atau sangat  mungkin pula jika jam tangan tersebut digunakan sebagai sistem shiff (bergiliran) dengan pengemis yang lain? (masih hipotesis).  
"Budaya mengemis merupakan salah satu potret kelam unsur kebudayaan yang hidup dan berkembang di sekitar kita, namun yang sebenarnya perlu kita maknai adalah bahwa setiap kebudayaan terlahir dari kebiasaan, maka sejatinya kegiatan mengemis merupakan contoh nyata, hasil dari kebiasaan buruk yang selama ini kita biasakan. Jadi, pesan dari saya “jika tidak ingin ada potret budaya kelam lain di masyaraakat kita, maka ayo! jangan tumbuhkan kebiasaan-kebiasaan buruk. DI MULAI DARI KITA!”

1 comment:

  1. Sekarang memang banyak sekali pengemis yang ada di negara kita, mungkin memang benar jika ini telah menjadi suatu bidaya yang telah terjadi dan di jadikan sebagai sumber penghadisilan mereka.

    ReplyDelete