Wednesday 19 February 2014

Narrow a Window



Narrow a Window

 
 
Setiap remaja memiliki gelora semangat muda, ibarat api yang berkobar melahap daun-daun kering untuk menjadi semakin besar dan besar. Pengalaman, momen dan cerita keberhasilan ingin mereka capai sedini mungkin dengan tangan muda mereka. Dan inilah yang dilakukan saya dan seorang  teman, berburu cerita untuk menjadi sebuah pengalaman dan modal demi mencapai keberhasilan yang sesungguhnya. Kami berwirausaha lain dengan yang lainnya,  dengan menjual sandal. Bagi kebanyakan anak muda yang mengutamakan tampilan dan gengsi tentu tak akan mau dan mampu. Begitupula kami, sebetulnya kami malu dan gengsi, sama seperti kebanyakan muda-mudi dan itu manusiawi. Namun kami memandang dengan sudut lensa yang berbeda “ini adalah tantangan, peluang untuk mengasah kemampuan dan bekal. Let’s do this!” itulah kalimat yang kami tekankan sebelum berjalan mencari pembeli sandal :v

Sandal yang kami jual sebetulnya bukan sandal yang dipakai kebanyakan orang. Mengusung tema “lucu” produk sandal baru ini memberi inovasi baru pada sandal dengan menampilkan bentuk dan warna-warna lucu. Sangat cocok dipakai untuk menambah kelucuan anak ibu dirumah :v . Sandal ini memiliki ukuran bermacam-macam, mulai dari bayi yang baru bisa jalan sampe kakek-kakek yang tak mau jalan.

Pada saat itu pemuda indonesia sedang terserang sindrom “unyu”, banyak remaja menggilai suatu hal yang dinilai mampu mendograk sisi kelucuan/keimutan dalam diri seseorang. Semua serba unyu, dan menarik, bahkan hal-hal aneh tiba-tiba dianggap sebagai sesuatu yang lucu. Kami melihat ada peluang, yang disebut narrow a window. Peluang yang hanya akan muncul sekali dengan cepat dan akan hilang pulang dengan cepat, diibarat seperti jendela yang terbuka sedikit lalu akan kembali menutup. Tak ingin kesempatan itu pergi begitu saja kami berusaha mengambil untung dari trend yang sedang menjadi.

Singkat cerita apa yang kami  yakini terbukti, tak hanya  anak kecil –target awal kami- bahkan anak-anak remaja SMA merespon dengan sangat cepat. Apa yang disebut  sebagai omset kini meningkat sangat tajam, menghasilkan permintaan yang membludak. Perasaan senang dan bangga berteriak-teriak dalam hati kami, mengatakan bahwa “kita berhasil memanfaatkan peluang bung!”. Uang jajan dan kebutuhan berhasil kami dapatkan dengan usaha sendiri, dan tterpenting memotivasi beberapa teman untuk ikut berwirausaha, ada sekitar 5 anak yang akhirnya bergabung dalam induk usaha kami menjual Sandal Lucu (SANCU), selain itu beberapa anak yang lainnya juga termotivasi untuk berwirausaha dengan menjual barang yang berbeda.

Kami lalu memperluas pasar, mencari agen-agen dibawah kami di beberapa sekolah dan lingkungan rumah. Kami kembali berhasil, omset naik dan sinilah “masalah” mulai muncul. Status kami yang masih pelajar SMA kelas 3 seolah memberikan warning pada kami “Awas anda mulai menjadi sibuk dan meninggalkan kewajiban sebagai siswa”. Kami sadari betul problem ini, kami mencoba untuk membagi prioritas dengan menjadwalkan usaha di luar waktu belajar sekolah, namun itu sulit karena permintaan selalu datang memaksa –memang seperti itulah usaha. Manajemen usaha kami pun tak sematang “mendoan”, pada mulanya kami memang membuat manajemen sederhana dengan mencatat pesanan dalam sebuah buku lengkap dengan nama pemesan, hari, model dan ukuran sandal serta pembagian tugas di antara kami namun semakin lama kami semakin seenaknya berusaha, tanpa ada pengaturan manajemen, tak ada pembagian tugas lagi, tak ada catat mencatat lagi. Karena pesanan yang banyak dan tanpa manajemen kami mulai merasakan stres. Beberapa kali kami mengecewakan agen di bawah kami, akhirnya  kami mengambil sebuah solusi. Menghentikan usaha. Keuntungan dari penjualan yang banyak telah melupakan niat  dan tujuan kami dari awal, yaitu mencari pengalaman. Tujuan kami sebatas untuk mencari pengalaman dan jika dipikir-pikir kami sudah mendapatkannya secara umum, cukup untuk menjadi pembelajaran dan bekal nantinya.

Kadang  solusi terbaik dalam usaha adalah dengan berhenti dan belajar. Banyak usahawan yang memaksa berjalan dengan manajemen yang rusak dan akhirnya berakhir bangkrut dengan menyisakan kerugian dan hutang. Kebanyakan dari mereka tak mau sadar,  dan akhirnya berusaha  menutupi hal itu dari pelanggan. Pikiran kami  saat itu adalah berhenti sebelum berjalan  ke jurang. Ada  hal lain yang akan dikorbankan, pendidikan, kebebasan masa muda, masa depan dan kepercayaan orang lain (pelanggan).

No comments:

Post a Comment