Perbedaan Pandangan
Menciptakan Improvisasi
Pada awal masa jabatan OSIS, saya
menemukan satu persoalan yang sangat umum terjadi dalam organisasi, perbedaan
visi dan misi antar anggota atau ketua. Masalah ini sempat terjadi dalam
organisasi saya dimana pada awal masa jabatannya, ketua terpilih dan beberapa
anggota memiliki pandangan yang berbeda
dengan saya dalam hal kebebasan berpendapat. Sebagai calon ketua OSIS –tak
terpilih- tentu saya memiliki program, dan salah satu program saya adalah membuat
media sosial –grup facebook- sebagai penyalur aspirasi dan informasi internal
siswa sekolah. Kesalahan saya adalah telah merealisasikan program sebelum mendapat legalitas dari pihak
sekolah, pada mulanya grup tersebut tidak berkembang secara optimal dan
terpikir oleh saya akan gagal. Itulah sebabnya saya tidak meminta grup itu direkomendasi ke kepala sekolah untuk
dilegalkan menjadi program sekolah, pada saat itu saya “hanya” mengandalkan
izin informal dari ketua OSIS terpilih dan teman-teman.
Singkat cerita –beberapa minggu
setelahnya- grup tersebut berkembang semakin pesat dan memiliki anggota hampir
satu angkatan sekolah. Tanpa diduga grup tersebut dimanfaatkan beberapa oknum
anggota untuk menyampaikan aspirasi yang “salah” –tidak pada tempatnya- hingga
menyebabkan pecahnya konflik individual yang menyebar semakin lebar di grup.
Pada awal keberadaannya -media sosial seperti facebook- memang telah
mendapatkan perhatian dari pemerintah dan aktivis sosial. Hal ini terkait
karena belum ada hukum yuridis yang mengatur kebabasan hak di dunia maya,
sehingga oknum yang tak bertanggungjawab seenaknya menggunakan media sosial
untuk memfitnah, menekan, dan menyebarkan aib orang lain. Dan kebiasaan buruk
inilah yang terjadi di grup sosial itu, semakin hari oknum semakin seenaknya
beropini dan berkomentar, menyebarkan
aib teman dan guru sampai memprotes keras kebijakan sekolah dengan kata-kata
kotor dan tidak sopan.
Melihat ini, saya sebagai pihak yang
paling bertanggungjawab –maker
sekaligus admin- langsung mengadakan pertemuaan secara informal dengan ketua
dan teman-teman anggota untuk meminta saran konkrit menyelesaikan masalah ini.
Hampir semua teman-teman pengurus dan ketua menyarankan untuk menutup grup
tersebut, pada mulanya memang saya setuju dengan wacana itu. Namun setalah saya
berpikir matang, saya berpendapat bahwa kredibilitas OSIS akan jatuh jika saya
dan pengurus OSIS lari dari masalah. Kepercayaan anggota OSIS –semua siswa SMA-
terhadap wakilnya yaitu pengurus OSIS akan hancur. Semua siswa “mungkin” akan
memandang jika pengurus OSIS tidak mampu menjadi wakil siswa yang baik. Maka
dari itu saya bersikeras untuk mempertahankan grup, dengan tetap mencari solusi
yang benar untuk membudayakan beropini yang baik dan benar, karena yang saya cermati bahwa masalah
utama disini terletak pada kebiasaan atau budaya beropini siswa yang –saat itu-
masih buruk, tidak bertanggungjawab dan tidak ada kesadaran. Saya pun berpikir
lebih panjang untuk mempertahankan grup
dengan satu harapan lain, yaitu mengubah dan mendidik budaya beropini
siswa yang lebih baik dan bertanggungjawab. Saya tidak ingin semua siswa
menjadi pecundang –tidak berani beropini dan tunduk sepenuhnya pada kebijakan
sekolah- ataupun menjadi oknum kerusuhan dengan beropini seenaknya dan tak
bertanggungjawab. Namun setelah saya menjelaskan panjang lebar kepada
teman-teman pengurus, nyatanya pandangan mereka tetap dengan menutup grup.
Mungkin karena merasa tertekan oleh konflik dan terintimidasi oleh guru yang menjadi
topik keributan di grup akhirnya teman-teman pengurus mulai menjauhi saya. Saya
mulai tak mendapatkan dukungan dari lembaga saya –OSIS. Saya berkonsultasi
dengan kakak kelas -mantan pengurus- untuk mencari solusi namun “tetap” seperti
kebanyakan teman-teman satu kelas, mereka menyesalkan dan menyalahkan tindakan
saya yang memfasilitasi kebebasan beropini. Sebelum saya menyerah dan kembali
berpikir untuk menutup grup itu, saya mendapat dukungan dari kakak kelas
yang memiliki pandangan sama, kebebasan beropini
namun tidak bebas secara absolut.
Akhirnya saya dipanggil oleh dewan
guru, meminta klarifikasi dan pertanggungjawaban dari saya selaku pembuat grup.
Sebagian besar dewan guru memiliki pandangan yang berbeda dengan saya, dan
ujungnya adalah meminta grup itu ditutup sesegera mungkin karena takut harkat
dan martabat guru dijatuhkan secara tidak bertanggungjawab oleh siswanya.
Karena tidak mungkin untuk melawan guru secara langsung akhirnya saya hanya mendiamkan masalah itu berlarut.
Berharap waktu akan melarutkan masalah hingga siswa mendapatkan nalar dan
kesadarannya untuk membudayakan budaya beropini
yang baik. Dan ternyata itu terjadi! Setelah beberapa minggu konflik itu
didiamkan, akhirnya mereda dengan sendirinya.
Saya pun mendapat saran dari ketua
untuk sesegera mungkin membuat peraturan yang mengatur hak dan kewajiban dalam
beropini di grup. Dengan begitu masalah yang timbul kemarin dapat menjadi
pelajaran, sekaligus studi kasus yang diharapkan dapat membuka kesadaran semua
anggota grup tentang bahaya beropini di media massa. Singkat cerita akhirnya
peraturan itu terbentuk dan di sosialisasikan kepada ketua kelas, pengurus OSIS
dan dewan guru. Ketua OSIS lalu menambahkan saran untuk membentuk divisi OSIS baru
yang bertugas untuk mengurus dan memelihara grup. Sejak saat itu grup tersebut
dimanfaatkan sebagaimana mestinya sesuai harapan saya, yaitu menjadi media
pendekat hubungan alumni dan sekolah, media informasi inter-ekstern, dan media
pembelajaran untuk membudayakan budaya beropin yang baik dan benar! J
No comments:
Post a Comment