Tuesday 18 February 2014

Manajemen Organisasi



Perbedaan Pandangan Menciptakan Improvisasi

Pada awal masa jabatan OSIS, saya menemukan satu persoalan yang sangat umum terjadi dalam organisasi, perbedaan visi dan misi antar anggota atau ketua. Masalah ini sempat terjadi dalam organisasi saya dimana pada awal masa jabatannya, ketua terpilih dan beberapa anggota memiliki pandangan yang  berbeda dengan saya dalam hal kebebasan berpendapat. Sebagai calon ketua OSIS –tak terpilih- tentu saya memiliki program, dan salah satu program saya adalah membuat media sosial –grup facebook- sebagai penyalur aspirasi dan informasi internal siswa sekolah. Kesalahan saya adalah telah merealisasikan program  sebelum mendapat legalitas dari pihak sekolah, pada mulanya grup tersebut tidak berkembang secara optimal dan terpikir oleh saya akan gagal. Itulah sebabnya saya tidak meminta grup itu  direkomendasi ke kepala sekolah untuk dilegalkan menjadi program sekolah, pada saat itu saya “hanya” mengandalkan izin informal dari ketua OSIS terpilih dan teman-teman. 

Singkat cerita –beberapa minggu setelahnya- grup tersebut berkembang semakin pesat dan memiliki anggota hampir satu angkatan sekolah. Tanpa diduga grup tersebut dimanfaatkan beberapa oknum anggota untuk menyampaikan aspirasi yang “salah” –tidak pada tempatnya- hingga menyebabkan pecahnya konflik individual yang menyebar semakin lebar di grup. Pada awal keberadaannya -media sosial seperti facebook- memang telah mendapatkan perhatian dari pemerintah dan aktivis sosial. Hal ini terkait karena belum ada hukum yuridis yang mengatur kebabasan hak di dunia maya, sehingga oknum yang tak bertanggungjawab seenaknya menggunakan media sosial untuk memfitnah, menekan, dan menyebarkan aib orang lain. Dan kebiasaan buruk inilah yang terjadi di grup sosial itu, semakin hari oknum semakin seenaknya beropini  dan berkomentar, menyebarkan aib teman dan guru sampai memprotes keras kebijakan sekolah dengan kata-kata kotor dan tidak sopan.

Melihat ini, saya sebagai pihak yang paling bertanggungjawab –maker sekaligus admin- langsung mengadakan pertemuaan secara informal dengan ketua dan teman-teman anggota untuk meminta saran konkrit menyelesaikan masalah ini. Hampir semua teman-teman pengurus dan ketua menyarankan untuk menutup grup tersebut, pada mulanya memang saya setuju dengan wacana itu. Namun setalah saya berpikir matang, saya berpendapat bahwa kredibilitas OSIS akan jatuh jika saya dan pengurus OSIS lari dari masalah. Kepercayaan anggota OSIS –semua siswa SMA- terhadap wakilnya yaitu pengurus OSIS akan hancur. Semua siswa “mungkin” akan memandang jika pengurus OSIS tidak mampu menjadi wakil siswa yang baik. Maka dari itu saya bersikeras untuk mempertahankan grup, dengan tetap mencari solusi yang benar untuk membudayakan beropini yang baik  dan benar, karena yang saya cermati bahwa masalah utama disini terletak pada kebiasaan atau budaya beropini siswa yang –saat itu- masih buruk, tidak bertanggungjawab dan tidak ada kesadaran. Saya pun berpikir lebih panjang untuk mempertahankan grup  dengan satu harapan lain, yaitu mengubah dan mendidik budaya beropini siswa yang lebih baik dan bertanggungjawab. Saya tidak ingin semua siswa menjadi pecundang –tidak berani beropini dan tunduk sepenuhnya pada kebijakan sekolah- ataupun menjadi oknum kerusuhan dengan beropini seenaknya dan tak bertanggungjawab. Namun setelah saya menjelaskan panjang lebar kepada teman-teman pengurus, nyatanya pandangan mereka tetap dengan menutup grup. Mungkin karena merasa tertekan oleh konflik dan terintimidasi oleh guru yang menjadi topik keributan di grup akhirnya teman-teman pengurus mulai menjauhi saya. Saya mulai tak mendapatkan dukungan dari lembaga saya –OSIS. Saya berkonsultasi dengan kakak kelas -mantan pengurus- untuk mencari solusi namun “tetap” seperti kebanyakan teman-teman satu kelas, mereka menyesalkan dan menyalahkan tindakan saya yang memfasilitasi kebebasan beropini. Sebelum saya menyerah dan kembali berpikir untuk menutup grup itu, saya mendapat dukungan dari kakak kelas yang  memiliki pandangan sama, kebebasan beropini namun tidak bebas secara absolut.

Akhirnya saya dipanggil oleh dewan guru, meminta klarifikasi dan pertanggungjawaban dari saya selaku pembuat grup. Sebagian besar dewan guru memiliki pandangan yang berbeda dengan saya, dan ujungnya adalah meminta grup itu ditutup sesegera mungkin karena takut harkat dan martabat guru dijatuhkan secara tidak bertanggungjawab oleh siswanya. Karena tidak mungkin untuk melawan guru secara langsung akhirnya saya  hanya mendiamkan masalah itu berlarut. Berharap waktu akan melarutkan masalah hingga siswa mendapatkan nalar dan kesadarannya untuk membudayakan budaya beropini  yang baik. Dan ternyata itu terjadi! Setelah beberapa minggu konflik itu didiamkan, akhirnya mereda dengan sendirinya.

Saya pun mendapat saran dari ketua untuk sesegera mungkin membuat peraturan yang mengatur hak dan kewajiban dalam beropini di grup. Dengan begitu masalah yang timbul kemarin dapat menjadi pelajaran, sekaligus studi kasus yang diharapkan dapat membuka kesadaran semua anggota grup tentang bahaya beropini di media massa. Singkat cerita akhirnya peraturan itu terbentuk dan di sosialisasikan kepada ketua kelas, pengurus OSIS dan dewan guru. Ketua OSIS lalu menambahkan saran untuk membentuk divisi OSIS baru yang bertugas untuk mengurus dan memelihara grup. Sejak saat itu grup tersebut dimanfaatkan sebagaimana mestinya sesuai harapan saya, yaitu menjadi media pendekat hubungan alumni dan sekolah, media informasi inter-ekstern, dan media pembelajaran untuk membudayakan budaya beropin yang baik dan benar! J

Satu hal yang dipelajari disini bahwa seberapapun maya-nya dunia maya, faktanya ia mampu memengaruhi kehidupan nyata. Tapi sebetulnya dunia nyatalah yang memengaruhi dunia maya. Maka penting bagi “kita” yang nyata, untuk menyelaraskan sikap dan niat sebelum berselancar di dunia maya.

No comments:

Post a Comment